Ironis nian nasib Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI), Curug saat ini. Jika pada dasawarsa 1970-an lembaga pendidikan ini pernah dikenal sebagai sekolah penerbang terbesar di Asia, kini Curug tampak menyedihkan. Sementara dunia penerbangan nasional tengah mengalami pertumbuhan pesat, sekolah utama pencetak pilot di Indonesia ini justru sedang terseok-seok kekurangan fasilitas pendidikan, termasuk pesawat latih untuk menggembleng skill penerbang siswa. Selain itu, langkanya bahan bakar avigas pun ikut memperparah kelangsungan sekolah ini. Pesawat-pesawat latih Curug kini sudah tak lagi terbang dan teronggok begitu saja di hanggar dan apron. Berbagai permasalahan kini begitu ruwet mendera mereka. Diam sajakah Pemerintah? Bisakah mereka kembali bangkit?
Penulis: Gatot Rahardjo/Angkasa
Apa yang dikatakan Presiden ICAO (International Civil Aviation Administration), Roberto Kobeh Gonzales, awal Agustus lalu di Denpasar, Bali, mendekati kenyataan. Dunia penerbangan Indonesia, katanya, sangat timpang karena tidak berimbangnya segi bisnis dengan sumber daya manusia (SDM). Akibatnya, banyak terjadi pembajakan serta pengarbitan SDM. Hal ini merupakan bahaya laten yang amat membahayakan aspek keselamatan penerbangan.
Untuk langkah antisipasi, sarannya, laju petumbuhan bisnis penerbangan nasional harus diperlambat. Fakta ini tidak bisa dilepaskan dari sektor pendidikan penerbangan di Indonesia. SDM Lembaga pendidikan dengan sistim yang baik, lengkap sarana dan prasarana pengajaran, serta kualitas dan kuantitas pengajar atau instruktur yang tinggi, tentu akan menghasilkan lulusan yang mumpuni dan berkompetensi.
Sejatinya, untuk memenuhi semua kriteria itulah STPI Curug didirikan. Lembaga pendidikan penerbang ini didirikan pada 1 Juni 1952 dengan nama awal Akademi Penerbangan Indonesia (API). Lembaga ini semula bertempat di Gempol, Kemayoran, Jakarta. Akademi ini berulang kali berubah nama. Sesuai dengan perkembangan kurikulum dan ilmu yang diajarkan, akademi ini kemudian diubah menjadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) pada tahun 2000.
Visi STPI adalah menghasilkan lulusan yang diakui secara nasional dan internasional untuk menuju pusat unggulan (centre of excellent) yang berstandar internasional. Sementara misinya adalah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta penelitian teknologi terapan di bidang penerbangan. Dengan hal itu diharapkan akan mampu menghasilkan SDM di bidang penerbangan yang berkualitas internasional, mampu bersaing, mandiri dan profesional. Saat ini mereka menggelar empat jurusan, Jurusan Penerbang, Jurusan Manajemen Penerbangan, Jurusan Keselamatan Penerbangan, dan Jurusan Teknik Penerbangan.
Melambungnya kurs dollar AS terhadap rupiah telah membuat Pemerintah kelimpungan memenuhi anggaran pendiudikan yang sebagian besar harus dipatok dalam dollar. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk me-maintain kesiapan pesawat, mau tak mau harus ditutup dengan dollar. Maka, dana Rp 25 miliar yang telah disiapkan per tahun pun nilainya langsung anjlok. Akibatnya, satu persatu pesawat pun "bertumbangan". Pesawat-pesawat ini terpaksa dibiarkan teronggok di pelataran atau hanggar setiap kali jam terbangnya habis dan harus overhaul.
Tak kuat menahan penderitaan, STPI pun menutup Jurusan Penerbang - jurusan yang justru menjadi trademark dari sekolah ini.
Kurang antisipasi
Sebenarnya, dari segi kuantitas, Curug masih berjaya. Lulusannya masih meraja di segenap perusahaan penerbangan nasional. Mereka eksis sebagai operator maupun regulator. Sejak tahun 2000 sampai 2006 saja, jumlah lulusan Jurusan Teknik sudah mencapai 1.011 orang, Jurusan Keselamatan Penerbangan mencapai 1.066 orang, jurusan Manajemen Penerbangan 282 dan Jurusan Penerbang 755.
Jumlah itu, menurut Direktur STPI Darwis Amini, sudah mencukupi. Tetapi bagaimana dengan lulusan penerbangnya? Sejalan dengan menurunya kesiapan pesawat latih, dari tahun ke tahun, jumlahnya pun terus menurun. Tahun 2004 misalnya hanya diretaskan 31 orang, tahun 2005 sempat naik jadi 101, tetapi pada 2006 turun lagi jadi 43. Dari sejumlah itu pun tidak semuanya pilot pesawat tetap. Duapuluh di antaranya adalah Flight Operator Officer.
Untuk jurusan penerbang Curug persisnya membuka tiga program studi (prodi), yakni pilot pesawat sayap tetap, FOO, dan pilot helikopter. Namun dari ketiga prodi ini baru dua prodi pertama yang jalan. Prodi pilot helikopter sampai saat ini belum efektif berjalan.
Turunnya kesiapan pesawat mau tak mau juga membuat jadwal wisuda mulur. Pasalnya, untuk memenuhi jam terbang dan ujian solo, semua taruna harus antri menunggu kesiapan pesawat. Angkatan 59 yang sedianya diwisuda September ini, misalnya, selanjutnya mundur ke lain waktu.
Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Perhubungan Dedi Darmawan, yang membawahi STPI Curug, semua itu tak lepas dari kurangnya antisipasi Pemerintah. Liberalisasi dalam bisnis penerbangan tiba-tiba membuat mereka kalang kabut memenuhi kebutuhan pilot yang makin melambung. Masalah ini setidaknya mendera hingga tahun 2006.
Pada 2007, Badan Diklat Perhubungan akhirnya bisa bernafas lega. Anggaran pendidikan di Curug meningkat pesat. Dari sekitar Rp 25 miliar menjadi sekitar Rp 130 milyar. Jumlah ini belum termasuk rencana pembentukan beberapa laboratorium dan simulator pesawat jet. Curug juga diberi kebebasan mengembangkan diri dengan membangun sistim pendidikan tersendiri yang dianggap cocok untuk bangkit.
Kerjasama pihak ketiga
Ada empat poin yang sedang coba dibenahi dan dikembangkan Curug. Keempat poin ini adalah yang berkaitan dengan kurikulum dan silabus, dosen dan instruktur, sarana dan prasarana serta pembenahan manajemen. Untuk itu mereka mengajak beberapa lembaga lain untuk bekerjasama. Institut Teknologi Bandung sudah bersedia menerima dosen Curug untuk melanjutkan kuliah hingga jenjang S-2 (master) di jurusan Teknik Penerbangan. Lembaga pendidikan penerbangan ANAC dari Australia juga bersedia bekerjasama untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan instruktur Curug.
Sedangkan dengan Garuda Indonesia, kerjasama melibatkan siswa dan instruktur.
Mulai tahun pelajaran depan, Curug akan menerima dan mendidik sejumlah taruna titipan dari Garuda untuk Prodi Penerbang Sayap Tetap. Taruna titipan ini akan dididik bersama taruna reguler, namun dengan pemangkasan beberapa mata pelajaran. Jika lancar, taruna titipan ini hanya akan menjalani pendidikan selama 18 bulan untuk mencapai jenjang pendidikan CPL (Commercial Pilot Licence). Berbeda dengan taruna reguler yang harus menghabiskan waktu hingga 24 bulan.
Untuk membantu program tersebut, Garuda akan mengirim karyawan-karyawan mereka yang sudah mempunyai kualifikasi instruktur untuk ikut mengajar. Sebaliknya, instruktur Curug juga akan diperbolehkan memperdalam pengetahuan mereka dengan mengikuti kegiatan operasional Garuda. Program ini mereka namakan trainee for trainer.
Dengan dana yang ada, Curug juga berencana menghidupkan kembali 6 pesawat Socata TB-10 pada bulan September ini. Tahun depan, 10 pesawat sejenis ditambah 2 pesawat Sundowner C-23 dan 2 pesawat Piper Dakota PA-28 akan mendapat giliran dihidupkan.
Curug juga akan membeli tiga simulator pesawat jet pada 2008, yakni untuk jenis Boeing 737 klasik, seri Airbus-320 dan Boeing 737-900. Semua sarana dan prasarana yang dimiliki juga akan diupayakan untuk memperoleh standar ISO 9000 dan 9001. Mereka juga akan mengembangkan sayap dengan menerima taruna dari luar negeri.
Semua usaha tersebut, menurut Dedi, merupakan bagian dari program PC 120 (Pilot Commercial 120) yang dicanangkan mulai 2008. Dengan program itu, Curug diharapkan mampu mendongkrak kembali lulusan pilotnya menjadi 120 orang per tahun. Mudah-mudahan perbaikan dan pengembangan fasilitas ini bisa membangkitkan kembali kejayaan Curug... (*)
-----
Sudah Dipesan Sebelum Lulus
STPI Curug sebenarnya tidak perlu berkecil hati. Dalam beberapa hal, sebenarnya mereka punya potensi yang sangat besar. Mereka punya sarana dan prasarana berkualitas tinggi seperti lapangan terbang dan menara ATC tersendiri. Untuk berlatih take-off dan landing, lapangan terbang Budiarto pun terbilang ideal. Dengan panjang landasan 1.800 meter dan lebar 30 meter, pesawat sekelas Fokker F-28 bahkan bisa mendarat dan lepas landas dari sini. Untuk pesawat latih sekelas Sokata TB-10 atau Piper Dakota PA-28 milik Curug, ini tentu sangat leluasa.
Curug sebenarnya memiliki 40 pesawat latih. Pesawat-pesawat itu terdiri dari 3 unit Baron B-58, 11 C-23 Sundowner, 8 Piper PA-28 Dakota PA-28,17 TB-10 Socata, dan satu unit heli Bell 206.
Kompleks sekolahan Curug juga sangat luas, mencapai kurang lebih 20 hektar. Di kompleks seluas itu, selain bandara dan menara ATC, juga berdiri 29 unit ruang kelas, asrama mahasiswa dengan kapasitas 960 orang, 10 laboratorium, perpustakaan, balai pengobatan, hanggar untuk 40 pesawat latih dan beberapa bangunan penunjang lainnya. Curug juga mempunyai empat Pilot Link Simulator, 2 unit ATC Radar Simulator dan sebuah ATC Tower Simulator.
Dengan fasilitas selengkap itu, Curug sebenarnya tak saja telah menjadi pusat pendidikan penerbang terbesar di kawasan regional, namun juga yang terbesar di antara sekolah pendidikan penerbangan sipil di dunia. Dengan demikian setiap lulusannya semestinya memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Tak heran jika tarunanya sudah dipesan para maskapai sebelum lulus. Hingga Juni 2007 ini saja, Curug sudah mengantungi pesanan 535 fresh graduate pilot. Dan, yang memesan pun ternyata tak hanya maskapai dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Global Wing (Malaysia) misalnya sudah memesan 250 pilot, sementara Sky Train (Cina): 120.
Banyaknya jumlah pemesan itu juga disebabkan murahnya "harga jual" yang ditawarkan Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 14 tahun 2003, maskapai peminat hanya diharuskan membayar pengganti biaya pendidikan sebesar 22,5 ribu dollar AS per siswa. Bandingkan dengan biaya pendidikan di lembaga pendidikan lain yang biasanya mencapai 30-35 ribu dollar. Perekrutan ini juga terasa lebih ringan dengan ditiadakannya program ikatan dinas. Dengan demikian, setiap lulusannya bisa melenggang saat mencari tempat kerja.
Namun demikian, tingginya permintaan atas pilot ternyata jadi bumerang bagi Curug dan Departemen Perhubungan. Tak satu pun di antara mereka mau "mampir" di kubu regulator. Iming-iming gaji besar dengan sederet tunjangan kesejahteraannya telah membuat mereka lebih melirik perusahaan swasta daripada menjadi pegawai di lingkungan Departemen Perhubungan atau menjadi instruktur di Curug. Akibatnya terjadilah ketidakseimbangan antara kuantitas dan kualitas regulator dan operator. Regenerasi instruktur di Curug juga menjadi tersendat.
Menyimak kecenderungan ini, Kepala Badan Diklat Departemen Perhubungan Dedi Darmawan berniat akan mengadakan kembali program ikatan dinas yang sempat terhenti beberapa tahun belakangan ini. "Dengan ikatan dinas ini, minimal Pemerintah akan mendapatkan 10 siswa terbaik dan mampu bekerja sebagai regulator atau instruktur yang cakap," ujarnya.
Jika program tersebut terlaksana, taruna yang terjaring dan bersedia akan dibebaskan sama sekali biaya pendidikannya. Selama ini, taruna Curug dibebani biaya pendidikan sekitar Rp 15 juta untuk dua tahun pelajaran. Biaya-biaya itu meliputi biaya makan, pengadaan buku dan pengadaan baju serta beberapa biaya lainnya.
Menurut Dedi, saat ini Pemerintah juga sedang menggodok perubahan PP no. 14 Tahun 2003, terutama tentang besaran uang ganti pendidikan bagi maskapai yang mengambil lulusan Curug. Jika ini terlaksana, maka dana untuk membangun Curug akan melonjak signifikan. (*)
Tabel
Beberapa Pemesan Pilot Lulusan Curug (sd. Juni 2007)
No. Pemesan jumlah
1 Garuda Indonesia 60
2 Lion Air 60
3 Merpati Airlines 25
4 Sky Train - China 120
5 Individual 20
6 Global Wing - Malaysia 250
7 Idea Flying School 80
Total 535
Sumber: Diklat Dephub
-------
Deraan Avigas
September nanti, Wisuda Taruna STPI Curug Angkatan 59 tidak akan seramai wisuda sebelumnya. Pasalnya, 25 taruna dari Jurusan Penerbang (pilot) terpaksa ditunda kelulusannya gara-gara pesawat latih mereka mogok terbang. Ibarat jatuh ketiban tangga, kali ini gara-gara menghilangnya pasokan bahan bakar Aviaton Gassoline atau Avigas). Sedemikian runyamnya sampai-sampai jadwal wisuda tersebut belum bisa ditetapkan hingga kini.
Ketiadaan pasokan avigas dari Pertamina ini mereka rasakan sejak Juni 2007. Menurut informasi yang mereka terima, oktan avigas yang sudah dibuat Pertamina tidak memenuhi syarat sehingga tidak bisa didistribusikan. Tentu saja hal ini membuat Curug kelimpungan. Pasalnya, semua pesawat latih yang dimilikinya harus berbahan bakar avigas.
Celakanya, Curug juga tidak bisa mendapatkan pasokan avigas dari pihak lain, termasuk dari impor. Ini karena produsen avigas memang sangat langka. Satu-satunya kilang yang bisa memproduksi di kawasan Asia hanyalah kilang milik Pertamina di Plaju.
Namun tentu saja Pertamina tidak mau disalahkan begitu saja atas masalah ini. Menurut Aswindarto, Manajer Pemasaran Pertamina Aviasi, kebutuhan avigas dalam negeri sangat kecil dibandingkan kapasitas produksi yang bisa dihasilkan oleh kilang Plaju.
"Kebutuhan nasional hanya sekitar 4.000 kilo liter per tahun. Sedangkan kapasitas produksi kilang Plaju mencapai sekitar 150 kilo liter per hari," ujar Aswindarto. Dengan kondisi demikian, lanjutnya, hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan, kebutuhan avigas nasional dalam satu tahun bisa diproduksi. Pertamina tidak mau memproduksi secara berlebihan karena bahan bakar ini termasuk kurang laku di pasar ekspor.
Masalah yang timbul adalah ternyata biaya penyimpanan avigas sangat mahal. Oleh sebab itu Pertamina memilih untuk memproduksi avigas secara parsial. Jika ada yang memesan dalam jumlah banyak, baru mereka memproduksi. Hal ini pun, menurut Aswindarto, sangat riskan. Buka tutup produksi dengan diselingi produksi jenis lain- seperti avtur atau premium- membuat mesin dan operatornya harus sering beradaptasi. Salah satu akibat buruknya, seperti pada bulan Juni lalu, oktan avigas yang dihasilkan tidak sempurna sehingga tidak bisa digunakan. Curug pun kelimpungan.
Dirumahkan
Akibat ketiadaan bahan bakar ternyata sangat dahsyat bagi taruna penerbang di Curug. Kegiatan belajar terbang taruna angkatan 59 dan 60 itu terhenti sama sekali. Dalam jangka waktu Juni hingga pertengahan Agustus, mereka terlihat hanya duduk-duduk di seputar asrama atau ruang kelas. Bahkan pada 13 hingga 18 Agustus, mereka terpaksa dirumahkan. Untuk tetap mengasah skill dan feelling terbang, secara bergantian mereka berlatih di simulator TB-10 Franca.
Jika ini dibiarkan berlarut-larut, akibatnya bisa sangat panjang. Skill dan feelling penerbang, terutama yang masih pemula akan tidak terasah bila ia tidak sering menerbangkan pesawat. Kalau ia lama tidak terbang, menurut seorang penerbang senior yang ditemui Angkasa, untuk mencapai skill dan feelling terbang yang bagus dibutuhkan tambahan waktu yang lama. Dan tentu saja akan berdampak pada penambahan biaya yang lebih besar.
Antisipasi awal
Kondisi memprihatinkan yang menimpa taruna Curug Angkatan 59 dan 60 ini seharusnya bisa diantisipasi sejak awal. Apalagi kondisi produksi avigas oleh Pertamina yang sedemikian rupa sudah berlangsung sejak lama. Jika berkaca pada beberapa sekolah penerbangan lain milik swasta, seharusnya Curug tidak sampai terpuruk seperti sekarang.
Sebagai ilustrasi, ditengah-tengah krisis avigas saat ini, siswa-siswa penerbang dari Deraya Flying School dan Aero Flyer Institute ternyata masih bisa melakukan belajar terbang.
Capt. Suparno Muanam, Kepala Sekolah Deraya Flying School, dengan merendah mengatakan bahwa sebagai institusi swasta yang murni berbisnis, Deraya memang harus lebih lincah. Termasuk dalam mendapatkan avigas untuk bahan bakar pesawatnya. Alhasil, 9 pesawat latih milik Deraya sampai sekarang masih bisa terbang.
Langkah lebih maju diterapkan oleh Aero Flyer Institute. Seperti diungkapkan Hartawan, Direktur Utama Aero Flyer, saat pertama memilih pesawat sudah diupayakan pesawat-pesawat yang tidak tergantung kepada avigas sebagai bahan bakar. Lima pesawat jenis Cessna-172 miliknya sejak awal sudah dikonversi, sehingga bisa menggunakan bahan bakar biofuel ataupun avtur yang sangat banyak dipasaran. Ketika avigas langka, pesawat latih mereka tidak terpengaruh sama sekali.
Sebenarnya Curug juga tidak berdiam diri. Bahkan Dedi Darmawan, Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Perhubungan, sampai menelepon secara pribadi kepada direktur Pertamina. Namun sampai berita ini diturunkan, avigas masih belum bisa didapatkan.
Sedangkan soal konversi mesin bahan bakar dari avigas menuju biofuel atau avtur, menurut Darwis Amini, Direktur STPI Curug, akan digodok tahun depan. Curug akan bekerjasama dengan Departemen Perhubungan dan Jurusan Teknik Penerbangan ITB dengan menggunakan satu pesawat untuk percobaan.
Sebenarnya menurut Supplemental Type Certificate yang dikeluarkan Federal Aviation Administration (FAA) AS, ada beberapa tipe pesawat yang diperbolehkan langsung mengkonversi bahan bakar itu. Misalnya pesawat yang mempunyai lycoming mesin O-320-A, B, C atau E. Bisa juga pesawat yang mesinnya mempunyai conversion hot exceeding tidak lebih dari 160 hp atau hot exceeding composition ratio 8,5 : 1.
Apapun yang akan dilakukan, faktanya hingga tulisan ini diturunkan, siswa Curug belum bisa melakukan latihan terbang. Jika nanti avigas sudah bisa didapatkan, Curug mempunyai kewajiban melunasi hutang jam terbang terhadap taruna angkatan 59. Semakin cepat mereka lulus, dunia penerbangan nasional akan ikut senang dengan bertambahnya sumber daya manusia yang handal. (gat)
Tabel
Rincian pesawat yang dimiliki STPI Curug (data hingga pertengahan Agustus 2007)
No. Jenis pesawat tersedia dioperasikan
1. Baron B-58 3 2
2. Sundowner C-23 11 7
3. Piper Dakota PA-28 8 3
4. Socata TB-10 17 1
5. Helikopter Bell 206 1 0
sumber: STPI Curug
------
Deraya Flying School
Di Tengah Krisis Justru Tambah Pesawat
Nasib orang siapa tahu. Begitulah kalau mau membandingkan derap perjalanan STPI Curug dengan Deraya Flying School -- sekolah penerbang swasta yang telah berikprak sejak 1972 di bilangan Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sementara Curug kembang kempis "kehabisan" pesawat latih, baru-baru ini DFS justru baru saja memperoleh dua dari empat pesawat latih Cessna 150 yang mereka pesan beberapa waktu lalu. Dua lagi kabarnya akan memperkuat tahun depan.
Laiknya sekolah swasta, mereka pun menentukan sendiri sistem dan ongkos pendidikannya. Calon siswa di antaranya harus menajalani tahapan-tahapan tes tertentu. Di antaranya tes aptitude flight untuk mengetahui kesiapan mental pelamar untuk berada di angkasa. Tahapan selanjutnya adalah tes kesehatan dan tes bahasa Inggris. Jika tahapan-tahapan ini sudah dijalani, siswa berhak mengikuti pendidikan hingga mencapai rating PPL (Private Pilot License), CPL (Comercial Pilot License) atau bisa pula meneruskan hingga ke jenjang Multi Engine Instrument Rating.
Lama pendidikan sekitar 18 bulan. Biaya pendidikan yang diperlukan, jika ingin menguasai semua program yang ditawarkan, mencapai sekitar Rp 320 juta. Karena teramat besar, siswa bisa mengangsurnya sampai 10 kali.
Saat ini, Deraya mempunyai 84 siswa. Terdiri dari siswa aptitude flight 25 orang, siswa PPL 40 orang, siswa CPL 18 orang, dan seorang siswa CPL endors. Untuk program latihan terbang saat ini, mereka mempunyai 2 Cessna 150, 5 Cessna 172 dan 2 Cessna 402.
Walaupun murni bersifat bisnis, Deraya juga mengutamakan kualitas. Menurut Capt. Suparno Muanam, Kepala Sekolah Deraya Flying School, setiap siswa harus berdisiplin tinggi, serius belajar, dan memiliki semangat. Pendidik juga akan senantiasa memantau mental siswa. DFS, katanya pula, tak bersedia menerima siswa yang di sekolahkan di sini karena terpaksa. (*)
-----
Kisah Aero Flyer di Sarang STPI
Diam-diam nama Aero Flyer Institute mencuat cepat di kalangan maskapai penerbangan . termasuk sekolah penerbangan nasional. Aero Flyer adalah sekolah penerbang yang berkantor pusat di di Kompleks Perkantoran dan Pergudangan Suwarna, Cengkareng, Banten dan baru berdiri Nopember 2006 ini. Untuk ruang perkuliahan, uniknya, mereka menggunakan fasilitas Batavia Training Center yang terletak di komplek Pergudangan Bandara Mas, Negla Sari, Tangerang. Sementara untuk praktek terbang, mereka "justru" menggunakan Bandara Budiarto di komplek Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug.
Merasa diri belum tumbuh besar, Aero Flyer hanya menerima 10 siswa per angkatan yang di seleksi tiap enam bulan. Angkatan I, dengan tujuh siswa, sudah masuk sejak Nopember 2006. Angkatan II aktif sejak Februari 2007 dengan empat siswa. Sedang Angkatan III, dengan tujuh siswa, sudah mulai belajar sejak Juli 2007. Pembatasan jumlah siswa ini, menurut Direktur Utama Aero Flyer, Hartawan, adalah demi menggenjot kualitas lulusan. Lulusan dari sekolah ini, lanjutnya, diharapkan akan langsung bisa beroperasi di maskapai komersial.
Untuk masuk menjadi siswa di Aero Flyer, pelamar juga harus menjalani tes-tes tertentu. Yaitu aptitude test, tes kemampuan bahasa Inggris, tes kesehatan dan tes psikologi. Program pendidikan yang ditawarkan meliputi PPL, CPL hingga Multi Engine Instrument Rating. Jika berminat, siswa bahkan bisa melanjutkan hingga pengambilan type rating pesawat jenis Boeing737 klasik. Untuk itu Aero Flyer bekerjasama dengan Batavia Training Center milik Batavia Airlines yang mempunyai simulator Boeing 737-200 dan 400.
"Lulusan Aero Flyer juga memperoleh tambahan kursus Crew Resource Management (CRM), kursus Dangerous Good Regulation (DGR) dan Aviation Security (AVSEC) serta kursus Reduce Vertical Separation Minimal (RVSM)," ujar Hartawan.
Lama pendidikan di sini, jika hanya mencapai PPL, CPL dan Multy Engine Instrument Rating adalah setahun dengan biaya 35 ribu dollar AS. Sedangkan jika ditambah pengambilan type rating, waktunya bertambah enam bulan dengan tambahan biaya 25 ribu dollar. Biaya-biaya tersebut harus disetor di awal pendaftaran.
Saat ini mereka mempunyai lima pesawat latih jenis Cessna-172. Semua mesin pesawat tersebut sudah dikonversi sehingga bisa menggunakan bahan bakar avtur atau biofuel. Rencananya di tahun 2007 ini AFI akan mendatangkan lagi lima unit Cessna -172 lagi dari Tucson Arizona. Sedangkan untuk kelas multi engine telah dipesan Cessna 402 dan Cessna 310. (*)
Sumber :
http://www.angkasa-online.com/public/print/17/12/184.htm